Beranda
Tokoh
KH. Abdurahman Wahid (Gus DUR)

KH. Abdurahman Wahid (Gus DUR)

1. Biografi

K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999-2001. Ia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan Ketua Tanfidziyah (Badan Eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

KH. Abdurahman Wahid

a. Kehidupan Awal

Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada 4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya tak sadar bahwa hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Gus Dur lahir pada tanggal 7 September 1940 (4 Sya’ban 1940) di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur . Ia putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. 

Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan ”darah biru” dan, menurut Clifford Geertz , Ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurrahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Shalahuddin Wahid dan Lili Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah. 

[feedposts text="Baca Juga"/]

Gus Dur, Tokoh fenomenal yang dikenal sebagai pemikir brilian, rasional, kiprah dan sepak terjangnya telah banyak mewarnai pelbagai bidang: politik, sosial, budaya, ekonomi, seni, dan lainnya, lahir dengan nama Abdurrahman ad Dakhil."Ad Dakhil" berarti "Sang Penakluk". Lalu ditambahkan nama "Wahid" (nama ayahnya), dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak Kiai yang berati "abang" atau "mas".

Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, dan novel. di samping membaca, Ia juga hobi bermain bola, catur, dan musik. Sehingga kesenangan Gus Dur terhadap sepak bola menjadikannya pernah diminta menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya adalah menonton bioskop. Kesukaaannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabanya Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat menjadi Ketua Juri Festival Film Indonesia (FFI).

{next}

b. Riwayat Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an. Selanjutnya pada usia 13 tahun, Abdurrahman Wahid harus sudah kehilangan ayahnya, yang meninggal pada usia 38 tahun karena kecelakaan mobil.

Dahulu, pada saat sang ayah pindah ke Jakarta , di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik. 

Namun dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah Ia menamatkan sekolah dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan tersebut disebabkan oleh karena seringnya Ia menonton pertandingan sepak bola sehingga Ia tak mempunyai cukup waktu untuk menegerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalu pada tahun 1954 tersebut, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan anaknya (karena telah ditinggalkan suaminya dalam kecelakaan maut) sementara Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.

Ketika menjadi siswa SMP tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satudua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. serta untuk meningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London.

[feedposts text="Baca Juga"/]

Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan bukubuku untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur dapat menemukan judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.

Setamat dari SMP, dari tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan guru yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Ia belajar di sini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambak Beras, Gus Dur mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan kemudian ia mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Di kota ini ia tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra arab klasik. Di kalangan pesantren ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya ini banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan yang amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya. Pada bulan November 1963, Gus Dur mendapat beasiswa dari Menteri Agama berangkat ke Kairo-Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.

Pada saat ia tiba di Universitas al-Azhar, ia diberitahu oleh pejabat Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan bahasa arabnya karena tidak memiliki ijazah dari pesantren, meskipun ia telah lulus berbagai studi di pondok pesantren. Di sekolah Ia merasa bosan, karena harus mengulang mata  pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku di mana Ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir.

Di kota ini Ia merasa cocok karena tidak hanya mempelajari sastra arab, filsafat, dan teori-teori sosial barat, tetapi ia bisa memenuhi hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan, Gus Dur merasa lebih senang dengan sistem yang diterapkan Universitas Baghdad yang dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi barat dari pada sistem yang diterapkan al-Azhar. Selama belajar di Timur Tengah inilah Gus Dur menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah (1964-1970).

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makammakam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir alJailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.

{next}

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu Universitas ke Universitas lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup, dua kali sebulan Ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke Mc Gill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya Ia kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.

Pada tahun 1971, Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur kembali ke Jombang, menjadi guru. Ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian Ia menjadi Sekretaris Pesantren Tebu Ireng dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan-tulisannya, gagasan dan pemikirannya, Ia mulai mendapat perhatian dari khalayak.

Pada pertengahan 1970-an, secara beraturan Ia telah menjalin hubungan dengan Cak Nur dan Djohan Efendi. Karena itu, ketika pindah ke Jakarta Ia semakin intens bergabung dalam rangkaian forum akademik dan kelompok-kelompok kajian. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber di sejumlah forum diskusi keagamaan dan dunia pesantren, baik dalam maupun luar negeri.

[feedposts text="Baca Juga"/]

Semangat belajar Gus Dur memang belumlah surut. Pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah Universitas di Australia guna mendapatkkan gelar Doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

 Setelah pindah ke Jakarta, mula-mula Gus Dur merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU. Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl halli wa al-’aqdi yang diketuai KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menjabat ketua umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4. selama menjadi Presiden, pemikiran beliau masih mengundang kontroversi. Sering kali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah Ia menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisasi kaum ‘elit Islam’ sebagai dengan organisasi sektarian.

 Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Bam Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain. Demokrasi juga tentu saja adalah bagian vital perjuangan seorang Gus Dur.

{next)

2. Karya- Karya Gus Dur

a. Bunga Rampai Pesantren (Dharma Bakti, 1979) 

b. Muslim di Tengah Pergumulan (Lappenas, 1981) 

c. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan Transformasi (Fatma Press, 1989) 

d. Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Kompas, 1991). 

e. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1997) 

f. Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998) 

g. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (Erlangga, 1999) 

h. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999) 

i. Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, 1999) 

j. Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999) 

k. Membangun Demokrasi (Rosda Karya, 1999) 

l. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999) 

m. Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000) 

n. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001) 

o. Menggerakkan Tradisi (LKiS, 2001) 

p. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LKiS, 2002) 

q. Gus Dur Bertutur (Proaksi, 2005) 

r. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (The Wahid Institute, 2006) 

s. Membangun Demokrasi (Rosdakarya, 1999) 

t. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)

3. Penghargaan

a. Pada 1993, Gus Dur menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan tegaknya demokrasi di Indonesia 

b. Pada akhir 1994, Gus Dur juga terpilih sebagai salah seorang Presiden WCRP (World Council for Religion and Peace-atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian). 

c. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi pemimpin besar dan diakui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang dibangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan dan toleransi keagamaan di Indonesia. 

d. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. 

e. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. 

f. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM. 

g. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. 

h. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies

Selain itu, Gus Dur juga memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan Tinggi ternama di berbagai negara, antara lain :

a. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003) 

b. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003) 

c. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)  

d. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002) 

e. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000) 

f. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000) 

g. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000) 

h. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000) 

i. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000) 

j. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

Tidak ada komentar